
Uluwatu, yang terletak
di ujung selatan pulau
Bali dan mengarah ke samudra
Hindia, merupakan tempat
wisata yang menawan.
Apa yang menarik untuk
dilihat di sini adalah
pura yang berdiri kokoh
di atas batu karang yang
menjorok ke arah laut
dengan ketinggian sekitar
50 meter. Di sore harinya
sambil menikmati indahnya
sunset, anda dapat menyaksikan
pementasan tari bali yang
terkenal hingga ke manca
negara, tari Kecak.
Tidak hanya itu, bagi
anda yang senang belajar
sejarah, pura yang satu
ini sarat akan nilai sejarahnya.
Sejarahnya akan diuraikan
sebagai berikut :
Dalam beberapa sumber
disebutkan, sekitar tahun
1489 Masehi datanglah
ke Pulau Bali seorang
purohita, sastrawan dan
rohaniwan bernama Danghyang
Dwijendra. Danghyang Dwijendra
adalah seorang pendeta
Hindu, kelahiran Kediri,
Jawa Timur.
Danghyang Dwijendra pada
waktu walaka bernama Danghyang
Nirartha. Beliau menikahi
seorang putri di Daha,
Jawa Timur. Di tempat
itu pula beliau berguru
dan di-diksa oleh mertuanya.
Danghyang Nirartha dianugerahi
bhiseka kawikon dengan
nama Danghyang Dwijendra.
Setelah di-diksa, Danghyang
Dwijendra diberi tugas
melaksanakan dharmayatra
sebagai salah satu syarat
kawikon. Dharmayatra ini
harus dilaksanakan di
Pulau Bali, dengan tambahan
tugas yang sangat berat
dari mertuanya yaitu menata
kehidupan adat dan agama
khususnya di Pulau Bali.
Bila dianggap perlu dharmayatra
itu dapat diteruskan ke
Pulau Sasak dan Sumbawa.
Danghyang Dwijendra datang
ke Pulau Bali, pertama
kali menginjakkan kakinya
di pinggiran pantai barat
daya daerah Jembrana untuk
sejenak beristirahat sebelum
melanjutkan perjalanan
dharmayatra. Di tempat
inilah Danghyang Dwijendra
meninggalkan pemutik (ada
juga menyebut pengutik)
dengan tangkai (pati)
kayu ancak. Pati kayu
ancak itu ternyata hidup
dan tumbuh subur menjadi
pohon ancak. Sampai sekarang
daun kayu ancak dipergunakan
sebagai kelengkapan banten
di Bali. Sebagai peringatan
dan penghormatan terhadap
beliau, dibangunlah sebuah
pura yang diberi nama
Purancak.
Setelah mengadakan dharmayatra
ke Pulau Sasak dan Sumbawa,
Danghyang Dwijendra menuju
barat daya ujung selatan
Pulau Bali, yaitu pada
daerah gersang, penuh
batu yang disebut daerah
bebukitan.
Setelah beberapa saat
tinggal di sana, beliau
merasa mendapat panggilan
dari Hyang Pencipta untuk
segera kembali amoring
acintia parama moksha.
Di tempat inilah Ida Pedanda
Sakti Wawu Rauh teringat
(icang eling) dengan samaya
(janji) dirinya untuk
kembali ke asal-Nya. Itulah
sebabnya tempat kejadian
ini disebut Cangeling
dan lambat laun menjadi
Cengiling sampai sekarang.
Oleh karena itulah, Ida
Pedanda Sakti Wawu Rauh
ngulati (mencari) tempat
yang dianggap aman dan
tepat untuk melakukan
parama moksha. Oleh karena
dianggap tidak memenuhi
syarat, beliau berpindah
lagi ke lokasi lain. Di
tempat ini, kemudian dibangun
sebuah pura yang diberi
nama Pura Kulat. Nama
itu berasal dari kata
ngulati. Pura itu berlokasi
di Desa Pecatu.
Sambil berjalan untuk
mendapatkan lokasi baru
yang dianggap memenuhi
syarat untuk parama moksha,
Ida Pedanda Sakti Wawu
Rauh sangat sedih dan
menangis dalam batinnya.
Mengapa? Oleh karena beliau
merasa belum rela untuk
meninggalkan dunia sekala
ini karena swadharmanya
belum dirasakan tuntas,
yaitu menata kehidupan
agama Hindu di daerah
Sasak dan Sumbawa. Di
tempat beliau mengangis
ini, lalu didirikan sebuah
pura yang diberi nama
Pura Ngis (asal dari kata
tangis). Pura Ngis ini
berlokasi di Banjar Tengah
Desa Adat Pecatu.
Ida Pedanda Sakti Wawu
Rauh belum juga menemukan
tempat yang dianggap tepat
untuk parama moksha. Beliau
kemudian tiba di sebuah
tempat yang penuh batu-batu
besar. Beliau merasa hanya
sendirian. Di tempat ini,
lalu didirikan sebuah
pura yang diberi nama
Pura Batu Diyi. Juga di
tempat ini Danghyang Dwijendra
merasa kurang aman untuk
parama moksha. Dengan
perjalanan yang cukup
melelahkan menahan lapar
dan dahaga, akhirnya beliau
tiba di daerah bebukitan
yang selalu mendapat sinar
matahari terik. Untuk
memayungi diri, beliau
mengambil sebidang daun
kumbang dan berusaha mendapatkan
sumber air minum. Setelah
berkeliling tidak menemukan
sumber air minum, akhirnya
Danghyang Dwijendra menancapkan
tongkatnya. Maka keluarlah
air amertha. Di tempat
ini lalu didirikan sebuah
pura yang disebut Pura
Payung dengan sumber mata
air yang dipergunakan
sarana tirtha sampai sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu
Rauh kemudian beranjak
lagi ke lokasi lain, untuk
menghibur diri sebelum
melaksanakan detik-detik
kembali ke asal. Di tempat
ini lalu didirikan sebuah
pura bernama Pura Selonding
yang berlokasi di Banjar
Kangin Desa Adat Pecatu.
Setelah puas menghibur
diri, Danghyang Dwijendra
merasa lelah. Maka beliau
mencari tempat untuk istirahat.
Saking lelahnya sampai-sampai
beliau sirep (ketiduran).
Di tempat ini lalu didirikan
sebuah pura yang diberi
nama Pura Parerepan (parerepan
artinya pasirepan, tempat
penginapan) yang berlokasi
di Desa Pecatu.
Mendekati detik-detik
akhir untuk parama moksha,
Danghyang Dwijendra menyucikan
diri dan mulat sarira
terlebih dahulu. Di tempat
ini sampai sekarang berdirilah
sebuah pura yang disebut
Pura Pangleburan yang
berlokasi di Banjar Kauh
Desa Adat Pecatu. Setelah
menyucikan diri, beliau
melanjutkan perjalanannya
menuju lokasi ujung barat
daya Pulau Bali. Tempat
ini terdiri atas batu-batu
tebing. Apabila diperhatikan
dari bawah permukaan laut,
kelihatan saling bertindih,
berbentuk kepala bertengger
di atas batu-batu tebing
itu, dengan ketinggian
antara 50-100 meter dari
permukaan laut. Dengan
demikian disebut Uluwatu.
Ulu artinya kepala dan
watu berarti batu.
Sebelum Danghyang Dwijendra
parama moksha, beliau
memanggil juragan perahu
yang pernah membawanya
dari Sumbawa ke Pulau
Bali. Juragan perahu itu
bernama Ki Pacek Nambangan
Perahu. Sang Pandita minta
tolong agar juragan perahu
membawa pakaian dan tongkatnya
kepada istri beliau yang
keempat di Pasraman Griya
Sakti Mas di Banjar Pule,
Desa Mas, Ubud, Gianyar.
Pakaian itu berupa jubah
sutra berwarna hijau muda
serta tongkat kayu. Setelah
Ki Pacek Nambangan Perahu
berangkat menuju Pasraman
Danghyang Dwijendra di
Mas, Ida Pedanda Sakti
Wawu Rauh segera menuju
sebuah batu besar di sebelah
timur onggokan batu-batu
bekas candi peninggalan
Kerajaan Sri Wira Dalem
Kesari. Di atas batu itulah,
Ida Pedanda Sakti Wawu
Rauh beryoga mengranasika,
laksana keris lepas saking
urangka, hilang tanpa
bekas, amoring acintia
parama moksha.

Selain itu kawasan pantai di Uluwatu
dengan ombaknya yang cukup
besar sangat menantang
untuk pencinta olahraga
surfing. Tiap tahun event
berlevel internasional
selalu diadakan di pantai
seputaran Uluwatu ini.